Senin, 17 Oktober 2011


MENGGLOBALKAN KOPERASI
Kita kembali memperingati Hari Koperasi. Semangat perkoperasi sesungguhnya telah jauh mengakar dalam masyarakat kita. Koperasi merupakan bangun usaha yang berkarakte-ristik dan berperilaku sesuai dengan masyarakat Indonesia yang kental nuansa gotong royongnya dan menjunjung tinggi asas kebersamaan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat peringatan Hari Koperasi ke-62 di Samarinda agar mampu mengimbangi ekonomi besar yang sudah mengglobal, dengan memanfaatkan berbagai potensi lokal.
Kepala Negara mendorong agar koperasi dikembangkan di segala lapisan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Ini bukan sekadar imbauan,melainkan instruksi solutif. Karena itu, strategi dan program Kementerian Koperasi dan UKM dari awal didesain berorientasi pro-job, pro-poor, dan pro-growth. Targetnya, secara bertahap namun pasti koperasi merebut kembali peran strategis dalam perekonomian nasional dan dapat mewujudkan cita-citanya menjadi tulang punggung atau soko guru perekonomian .
Kebijakan Pembangunan koperasi di indonesia telah menunjukan hasil-hasil yang cukup baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Pada krisis ekonomi terbukti bahwa koperasi mampu bertahan, dalam menghadapi permasalahan tersebut maka disusunlah kebijakan pembangunan dalam upaya usaha rencana pembangunan secara nasional. Pembangunan koperasi dapat terus ditingkatkan sehingga dapat tumbuh menjadi perusahaan yang sehat dan kuat. Peranannya dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi bangsa dapat lebih ditingkatkan. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan koperasi sampai saat ini masih cukup relevan untuk dilaksanakan adalah :

1. Pembangunan koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat agar memiliki kemampuan menjadi badan usaha yang efisien dan menjadi gerakan ekonomi rakyat.

2. Koperasi didukung melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya disegala sektor kegiatan ekonomi, baik di dalam negeri maupun diluar negeridan memudahkan untuk memperoleh permodalan.

3. Kerjasama antar koperasi dan koperasi antara BUMN dan usaha swasta lainnya dikembangkan untuk mewujudkan kehidupan perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi yang dijiwai semangat dan asas kekeluargaan serta saling mendukung dan menguntungkan.

Pengembangan koperasi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu : pembangunan dan pengembangan usaha, pengembangan SDM, peran pemerintah, kerjasama internasional. Koperasi mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional yaitu :

1. Koperasi mampu menggerakan potensi masyarakat golongan ekonomi lemah.
2. Koperasi lembaga ekonomi yang sangat diperlukan oleh bangsa indonesia.
3. Koperasi berperan utama sebagai agen pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Keberhasilan koperasi diukur dengan satuan-satuan kuantitatif misalnya : jumlah koperasi, jumlah modal, SHU, KUD, dll. Koperasi sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan bisnis mengglobal mampu bersaing dalam dunia bisnis secara optimal dan tetap bertahan dimasa depan sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.


http://bataviase.co.id/node/291293

MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Pertumbuhan koperasi di indonesia dimulai sejak tahun 1896.Yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang,koperasi di indonesia kini mengalami pasan naik dan turun. Dengan kegiatan usaha secara menyeluruh dan berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jika kalau pertumbuhan koperasi yang pertama di indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan yang menyediakan barang-barang konsumsi dan barang-barang penyediaan tersebutuntuk keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di indonesia dipelopori oleh R.Aria Wiriadmadja patih di purwokerjo pada tahun 1896,beliu mendirikan koperasi yang bergerak di bidang simpan-pinjam.Untuk memodali koperasi tersebut beliau menggunakan uang sendiri.
Sebenarnya didirikannya koperasi di indonesia karena untuk memecahkan masalah kemiskinan atas dasar semangat induvidual.koperasi pertamakali ada di inggris pada tahun 1844 yang dilandasi atas prinsip-prinsip keadilan  yang dikenal dengan sebutan "ROCHDALE PRINCIPLES".

Perkembangan koperasi di indonesia pertamakali oleh R.Aria Wiriadmaja kemudian dilanjutkan oleh Dewolf Van Westerrode asisten residen wilayah purwokerjo di banyumas , kemudian dilanjutkan oleh Boedioetomo yang didirikan pada tahun 1908,beliau  menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga dan serikat slam yang didirikan pada tahun 1911 juga menggembangkan koperasi bergerak dibidang keperluan sehari-hari,dengan cara membuka toko-toko koperasi. Perkembangan pesat di bidang perkoperasian di indonesia yang menyatukan kekuatan social dan politik.
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :

Ø  Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
Ø  Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA). Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.

Ø  Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
Ø  Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.

Ø   Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi. Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.

Ø  Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.

Ø  Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.

Ø   Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri. Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya. Dengan cara yang dapat dilakukan diatas Koperasi Indonesia diharapkan dapat menunjang mutu ekonomi dan sebagai sarana pembangunan ekonomi Indonesia.
Sumber : google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar